Masyarakat Majemuk Indonesia
Masyarakat
majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh
sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah
bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat
negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang
Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia,
Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal
dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah
nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku
bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Dalam perspektif hubngan
kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan
masyarakat-masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah
nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu
diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda
dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan
pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh
para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan
penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk
kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau
primitif.
Dalam
masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan
politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang
membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang
minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah
mempunyai kekuatan militer dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum
untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya
alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara
nasional, dalalm penjajahan Hindia Belanda terdapat golongan yang paling
dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit
putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemudian
yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong
pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan
mereka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur
yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan
dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan
kepentingan yang berlaku.
Dalam masa
pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah penajajahan Jepang yang merupakan
pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha
besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat suku bangsa yang dijajahnya.
Dengan kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di
Indonesia dieksploitasi secara habis habisan baik yang berupa sumber daya alam
fisik maupun sumber daya manusianya (seperti Romusha), yang merupakan kelompok
minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda
yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan
diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka, memerdekakan diri
pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928,
sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu
Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan
kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan
kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah
pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi
Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi
Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik
Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di
Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah
antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan
adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan
oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa
dan konflik di antara masyarakat-masyarakat suku bangsa dan keyakinan keagamaan
yang berbeda di Indonesia.
Dalam era
diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumber daya
alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang
dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau
mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli setempat. Ini
berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah
administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan
golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang
bersangkutan.
Hubungan Dominan-Minoritas
Kelompok
minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul
keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan
diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat dimana
mereka itu hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi
secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana
mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam
kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah
kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong minoritas
mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok,
kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah termanifestasi
dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, dan
keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan
kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok
dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah
keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka
terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini
berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang
tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam
keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah
berbeda dari mereka dantergolong sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada
golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak
mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan
rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Dalam
pembahasan tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat
dalam pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas
dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak
adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini,
dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud
dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun
pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau
pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan
mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil
(minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan
minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar
kekuatannya.
Konsep
diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan
perlakuakn yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara
askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif
adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan
beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan
diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk
merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau
asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat
majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan
oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan
dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik
secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan
ketentuan hukum dan berbagai cara lalin yang secara sosial dan budaya masuk
akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut pendapat saya, cara yang
terbaik adalah dengan merubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi
masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara
mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai
keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa
Indonesia.
Multikulturalisme dan Kesederajatan
Multikulturalisme
adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah
para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan
terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan
ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan
tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya
adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan
kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.
Sehingga upaya
penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam
masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan
dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau
kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia
nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara
Indonesia, sebagai warga sukubangsa dankebudayaannya, tergolong sebagai gender
tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku
sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya
sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn
sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program
penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya
usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas,
dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan
bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan
melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.
Mengapa
perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan
melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan
anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari
minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan
kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada
kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat
dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad
dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik
seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan
nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang
masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
Upaya yang
telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh
LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan melalui
program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan
demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan
kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam
keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam
masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar