Perempuan sering disebut the “Second Human Being“ (manusia kelas
kedua), yang berada di bawah superioritas laki-laki yang membawa dampak luas
dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Sebenarnya, sudah banyak upaya
yang dilakuzkan untuk memerangi ideologi patriarki ini, dimulai sejak
zaman Kartini sampai zaman reformasi
sekarang ini. Sehingga perempuan Indonesia telah mengalami banyak kemajuan,
meskipun pada tingkat tertentu masih terjadi ketimpangan gender.
Seperti contohnya Dalam bidang politik masalah keterwakilan politik ( political
representativeness ) bagi perempuan adalah satu hal yang cukup penting,
khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilihan umum ( pemilu ). Setidaknya
kini perempuan ikut andil dalam sector politik. Walaupun ruangnya terbatas,
justru ini adalah kesempatan bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensinya
dengan segala kemampuannya dalam mengemban perannya di salah satu bidang
politik yang ia jabati sekarang.
Kesetaraan hak dan kesetaraan kesempatan bagi
perempuan di Indonesia dapat dilakukan dengan memberikan hak dan kesempatan
yang seluas-luasnya untuk mengembangkan dirinya. Keinginan perempuan untuk
berperan aktif di ranah publik tidak boleh dihalangi. Namun kebebasan dalam
berkiprah di publik tidak boleh disalah gunakan oleh perempuan. Peran perempuan
dalam ranah domestik harus didorong untuk tetap menjaga keutuhan keluarga yang
harmonis dan anak-anak yang berprestasi. Hal ini dikarenakan peran perempuan
dalam publik bukanlah suatu ketetapan, melainkan suatu pilihan. Semuanya harus
sesuai dengan porsinya dan tentunya
disetarakan dengan potensi yang dimiliki. Perempuan yang memiliki potensi untuk
berkembang dalam ranah publik dianjurkan untuk berperan maksimal, dengan tetap
bertanggung jawab terhadap peran utamanya dalam rumah tangga. Sedangkan
perempuan yang tidak terlalu memiliki potensi untuk berperan aktif di ranah
publik, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk berperan aktif di ranah publik.
Konstruksi tentang perempuan sering
memunculkan dikotomi antara peran domestik dan peran publik. Pada ranah
domestik, perempuan mempunyai peran sebagai ibu rumah tangga, sedangkan ranah
publik perempuan juga bekerja dan mencari nafkah. Di era demokrasi, seorang
perempuan tidak harus memilih salah satunya, tapi bisa memilih untuk
menjalankan keduanya. Tetap berhasil di ruang domestik juga sukses di ruang
publik. Jika keduanya dipilih, idealnya kedua peran ini harus bisa berjalan
selaras. Mengingat peran domestik adalah pekerjaan yang sama nilainya dengan
peran publik.
Ketika memasuki jenjang
perkawinan, banyak kepentingan perempuan yang kemudian saling berbenturan
karena semua tampak menjadi begitu kompleks. Konflik batin terjadi saat seorang
perempuan ”dituntut” menjadi ibu yang bertanggung jawab atas keberadaan anak dan
tetap utuhnya rumah tangga, tetapi di sisi lain mereka dihadapkan pada
keinginan untuk meraih kemajuan dari balik dunia kerja. Kondisi ini memunculkan
dilema yang bisa menjadi perangkap bagi perempuan. Mereka kemudian seolah-olah
harus memilih salah satu: keluarga atau karir?
Di sini seharusnya bisa
dijawab dengan bagaimana setiap perempuan memandang nilai sebuah kebahagiaan
dalam hidupnya. Ada kelompok perempuan yang merasa bahagia apabila bisa
menemani anaknya sepanjang waktu dan melihat anak-anak tumbuh didampingi
seorang ibu yang dapat membimbingnya. Rasa bahagia seorang perempuan kelompok
ini akan benar-benar terasa bila dapat memenuhi perannya sebagai ibu. Di lain
pihak, ada kelompok perempuan yang berpendapat tak perlu harus meninggalkan
dunia kerja sepanjang keluarga dan anak-anak dapat menerima hal tersebut.
Kelompok ini berpendapat bahwa harus ada usaha untuk memenuhi keinginan agar
dua unsur penting dalam hidup perempuan yang telah berumah tangga itu berjalan
harmonis. Terlepas dari hal tersebut, pada dasarnya apa pun keputusan yang
diambil perempuan, sama-sama mempunya konsekuensi. Mendefinisikan kesuksesan
bagi perempuan Indonesia masa kini khususnya yang sudah menikah, tidaklah
mudah. Namun demikian, paling tidak emansipasi bagi perempuan tidak lagi
dimaknai sebagai ‘keinginan perempuan untuk sederajat dengan laki-laki’, tetapi
lebih ke arah kebebasan untuk memilih jalan hidup. Karena dalam proses
menentukan jalan hidupnya tersebut perempuan menggunakan otaknya untuk
berpikir, maka perempuan juga harus bertanggung jawab atas pilihannya.
Di indonesia saja hak
perempuan tidak secara multak menggantungkan nasibnya kepada laki-laki. Peran
perempuan banyak diperhitungkan ke ranah publik. Itulah sebabnya, banyak
kesempatan bagi perempuan untuk melakukan peranan yang produktif di luar rumah
bukan hanya produktif di dalam rumah. Tuntutan perempuan terbukti pada krisis
yang membelit Indonesia, di mana perempuan merelakan diri untuk melakukan
pekerjaan publik demi menyambung hidup dan memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk ikut berpartisipasi di ruang publik. Sesuai bidang yang menjadi
kemapuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar